Sepenggal Ceritaku Untukmu Penikmat Kata




                Di malam sepi dan kelam ini, aku merenung dalam kesendirianku. Mengingat setiap galian memori  yang terus-menerus berjalan layaknya kaset. Aku terdiam sejenak, menikmati semilir angin yang menerpa wajahku.

TING!

                Suara dentingan ponselku yang membuatku harus membuka mata. Aku menggapai ponselku, melihat ada chat yang membuatku tersenyum getir.

Aku takut, Na.

                Aku tahu dia ketakutan. Aku tahu dia gelisah dengan hal-hal negatif yang terus berseliweran memenuhi benaknya. Aku paham apa yang dia rasakan, karena aku pun pernah merasakannya.

Jangan takut Cha, kamu harus tetap semangat. Insya Allah kamu lolos. Kamu tahu? Allah selalu mengikuti prasangka hambanya. Bismillah…
               
Balasku untuk memberi dukungan dia. Seketika, aku mengingat saat masa SMA-ku yang tidak lama aku mengalaminya. Mengingat semua teman-temanku yang berjuang bersama untuk menggapai kesuksesan kami masing-masing. Mereka les ke sana kemari tanpa lelah. Apa daya aku yang tidak les, ya, bukannya aku iri, aku hanya heran. Apa mereka tidak lelah sudah belajar di sekolah hampir separuh waktunya ditambah dengan les yang menguras otak dan energi mereka?
                Aku salut dengan mereka. Demi kesuksesan dan cita-cita mereka mengorbankan waktu istirahat mereka. Lihatlah aku? Aku lebih menyukai hal-hal santai di saat semua bersiap menyiapkan ujian. Aku membaca novel dan rebahan di atas kasur kesayanganku. Aku pintar? TIDAK! Aku biasa saja, pintar tidak bodoh pun tidak. Aku hanya tidak ingin otakku panas jika aku terus-menerus belajar. Aku hanya belajar saat hari-H ujian, orang-orang biasa menyebutnya dengan SKS (Sistem Kebut Semalam). Ya, memang tidak efektif tapi apa daya diriku yang dari dulu terbiasa dengan sistem itu. Aku pun tak suka mencatat, jika sudah ada di buku buat apa mencatatnya lagi? Oh, jangan pernah mengikuti sistem belajarku yang aneh ini. Jangan! Karena, setiap orang mempunyai sistem belajarnya sendiri. Aku pernah bertanya kepada teman-temanku mengenai sistem belajar mereka. Ada yang membaca lalu dirangkum, ada yang membaca lalu dihafal, bahkan macam-macam. Intinya, buatlah dirimu nyaman dengan sistem belajar yang kau sukai. Jika, kamu nyaman pasti materi yang kau ingin kuasai pasti bisa kau kuasai.
                Bulan demi bulan telah berlalu, hari SNMPTN pun tiba. Ada dua sistem tahun ini, yang pertama penjaringan dari sekolah sebanyak 40% dan di pihak universitas sebanyak 20%. Aku dan teman-temanku pun merasa was-was dengan hal itu. Dalam penjaringan pihak sekolah hampir setengah dari kelasku masuk ke dalamnya. Aku? Janganlah ditanya, saat melihat pengumuman itu aku hanya terdiam seribu bahasa. Dadaku merasa sesak seketika.
                “Na, jangan sedih. Masih ada jalur PMDK-PN, SPAN-PTKIN, SBMPTN, bahkan masih banyak jalur yang bisa kamu coba. Ingat, banyak jalan menuju Roma. Aku yakin kita bakal sukses bareng-bareng,” Aku ingat kata-kata itu. Kata pelipur lara dari sahabatku—Mawar. Aku tersenyum, ia benar. Aku baru gagal sekali, namun sudah ingin menyerah. Ini bukan khas diriku sekali.
                Aku pun mencoba bangkit kembali. Aku tahu, tidak baik terpuruk terlalu lama. Aku pun mencoba setiap jalur yang ada. SPAN-PTKIN aku ditolak. PMDK-PN pun aku ditolak. Saat, melihat kedua pengumuman itu terpampang jelas di layar ponselku aku hanya tersenyum getir menahan rasa sesak yang meluap di dalam dadaku. “Ma, aku ditolak lagi,” aduku pada sahabatku –Mawar.
                “Jangan gitu! Masih ada SBMPTN, semangat Na,” ucapnya sembari menepuk bahuku. “Na, aku takut nih SNMPTN ngga keterima gimana?”
Aku mengerutkan dahi, “Memangnya kamu pilih universitas mana?”
“UNBRAW sama UNDIP,” jawabnya sambal menggigit bibir bawah. Sontak aku kaget, mataku terbelalak. “Gila! Kamu beneran mau di sana? Prodi yang kamu pilih kan tinggi nilainya.”
                “Nah, makanya aku takut! Gimana dong?” dia menggoyang-goyangkan lenganku. “Gini ya, Ma, kalau misalnya memang kamu udah milih kedua universitas itu, harusnya kamu yakin dong. Karena, Allah selalu mengikuti prasangka hambanya,” aku tersenyum menyemangatinya. Aku paham dengan kegelisahannya, karena aku pun mengalaminya saat itu. Itulah gunanya sahabat, ketika kita terpuruk mereka selalu ada untuk menghibur dan saling menguatkan.
                Hari-hari pun berlalu dengan cepatnya. Peristiwa demi peristiwa pun terlewati hingga menjadi kenangan dalam memori. Pahit manis hidup selalu berbaur setiap waktu. Hingga, tiba saatnya hari UTBK tiba.
                Aku akan sedikit menceritakan peristiwa yang tak lama terjadi, ternyata teman-temanku banyak yang ditolak SNMPTN, tak terkecuali Mawar –sahabatku.  Dia sama sepertiku, SNMPTN dan PMDK-PN ditolak. Namun, ia tak patah arang. Aku salut dengannya. Mungkin, beberapa kali saat sikap pesimistisnya muncul ia selalu datang mengadu padaku. Aku dengan senang hati mendengarkan segala keluh kesahnya. Sama sepertiku, jika sikap pesimistisku muncul aku akan mengadu padanya.
                Percayalah saat UTBK, aku tidak belajar sama sekali. Bukan, karena malas. Hanya, memang aku tidak tahu apa yang harus aku pelajari. Bodoh sekali bukan? Aku malah santai-santai baca novel kesayangan.
                “Na, kamu ngga belajar hah?” suara kanjeng yang mulia Ibuku terdengar memenuhi gendang telingaku. Aku kaget, “Capek Mah,” ucapku dengan entengnya. “Capek-capek, kamu tuh ya, dibilangin kok ngelawan, kamu tuh capek ngapain hah?”

Ya Allah, Ya Rahman…

                Jelas-jelas ibuku bertanya, kan sudah turun-temurun jika ada pertanyaan haruslah dijawab. Lebih baik kita diam saat ibu kita mulai rewel dan ikuti perintahnya. Aku pun dengan ogah-ogahan mulai mengambil buku dan membacanya. Dan, percayalah aku hanya belajar buku biologi saja tanpa belajar Matematika, kimia, dan fisika. Aku pasrah dengan ketiga mata pelajaran itu.
                Hingga, saat pagelaran UTBK 1 dimulai, aku was-was. Aku takut tidak bisa mengerjakannya, karena pagi tadi aku hanya belajar contoh soal UTBK-nya saja. Bahkan teman-temanku yang les saja gelisahnya sama sepertiku. Tapi, aku percaya dengan pertolongan-Nya serta do’a restu orang tuaku yang selalu menyertaiku. Aku pun mengerjakan soal-soal dengan diiringi sholawat, surah Al-Insyirah, Surat An-Nashr, bahkan do’a meminta kemudahan segala urusan. Aku teringat dengan SnapGram milik sahabatku –Melati– tentang berlapang dada. Di sana, Ustadz Hannan Attaki berbicara jika orang yang berlapang dada dan ikhlas akan diberi kemudahan oleh-Nya. Di dalam do’aku saat sholat Dhuha aku berkata, “Ya Allah, hamba menyerahkan segala takdir hamba hanya pada-Mu, karena hamba tahu Engkaulah sebaik-baiknya sutradara hidup ini. Engkau tahu apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Mu,”
                Dan waktu pun berjalan dengan mudahnya. Saat, aku keluar dari ruangan ujian ayahku sudah menunggu di depan gerbang. Ia tersenyum, “Gimana tadi ngerjain soalnya?” tanya beliau kepadaku. Aku hanya menatapnya dengan berkaca-kaca. Ya Allah, hamba rasanya ingin menangis. Batinku bersuara.
                “Pak, soalnya susah banget. Aku ngga bisa ngitungnya,” keluhku sembari mencium punggung tangannya. Air mataku pun menetes, namun aku segera mengusapnya. Aku takut mengecewakannya, aku takut tidak bisa membuat beliau bangga, aku takut jika aku hanya membebaninya. Aku takut. Ya Allah…
                “Ngga papa, udah pulang yuk,” ujar beliau seraya menarik lenganku menuju motor. Kami pun pulang menuju rumah.
                Waktu berlalu dengan cepat, bahkan aku was-was dengan nilai yang akan kudapat nanti. 8 Mei jam 7 pagi. Waktu yang sudah tertera dengan nyatanya di jam dinding rumahku. Dengan tangan gemetar, aku pun memberanikan diri membuka web LTMPT untuk melihat nilaiku. Ya Allah, hamba pasrahkan semuanya kepada-Mu.
Aku menutup mataku dengan sebelah tangan saat membuka web-nya. Dan…

Masya Allah.

                Aku kaget. Ponselku, ku lempar ke arah kasur. Itu… Ya Allah, aku tidak percaya dengan nilai-nilai yang tertera di sana. Aku pun mengambil ponselku kembali dan memandanginya dengan mata terbelalak. Demi Allah, pelajaran yang tidak aku hitung bahkan tidak kupelajari sama sekali nilainya sangat besar. Keajaiban apa ini Ya Allah? Aku menangis saat melihat nilaiku, aku mengucapkan hamdalah sebanyak-banyaknya seraya bersujud. Masya Allah…
                Aku pun segera menghampiri orang tuaku untuk memberi tahu hasil nilaiku. Dengan mata sembab, aku tersenyum saat orang tuaku melihatku. “Mah, Pak, Alhamdulillah nilaiku…” ucapku sembari menyodorkan ponselku kepada mereka. Mereka mengucap hamdalah seraya tersenyum manis kepadaku. Ya Allah, bisakah hamba terus menjadi alasan mereka tersenyum seperti itu?
                Saat UTBK 2, nilaiku turun drastis. Padahal, saat aku mengerjakannya aku sudah menghitungnya. Namun, apa daya mungkin sudah menjadi Takdir-Nya. Aku pun hanya bisa tersenyum getir. Ya Allah, ketentuan-Mu sangatlah tak terduga…
                Nilai UTBK teman-temanku banyak yang besar-besar. Aku salut dengan mereka, les mereka berarti tidaklah sia-sia. “Na, kamu dapet nilai UTBK gede ya?” tanya salah satu temanku –Ida. Aku tersenyum, “Alhamdulillah… kamu juga gede kan Da?” tanyaku balik padanya. Dia tersenyum getir, “Ngga kok, nilaiku di bawahmu,”
                Jawabannya membuatku terkejut. “Kamu bohong ya? Gedean kamu kali, kan kamu les,” ucapku seraya menyelipkan candaan di dalamnya. “Ngga, nilaiku beneran di bawahmu,” ujarnya sedih. Aku pun menyentuh pundaknya, “Jangan gitu Da, aku yakin kamu bisa lolos SBM kok,”
                “Bukan gitu Na, mamahku sampai bilang gini ‘Kamu kapan lulusnya Da, masa ga lulus-lulus udah berapa jalur yang kamu tempuh?’,” Ia pun menitikkan air matanya, “Siapa sih yang gamau lulus Na, aku bilang gini aja, ‘Mah, nanti  adek juga lulus, yang sebelumnya itu bukan rezeki adek. Mamah do’ain aja semoga adek lolos SBM’,”
                Aku setia mendengar keluh kesahnya. Aku bersyukur dengan orang tuaku yang sabar menghadapiku. Rata-rata teman-temanku banyak yang seperti itu. Ada yang dipaksa harus masuk kedokteranlah, ada yang dipaksa harus kuliah di Universitas Indonesialah, dan masih banyak lagi. Pertanyaannya gini, ‘Apakah orang tua harus memaksakan kehendaknya kepada anaknya?’ karena, anak juga punya keinginannya sendiri untuk menentukan pilihan hidup mereka. Mereka punya hak menentukan pilihan mereka sendiri, orang tua hanya membimbing. Membimbing bukan berarti memaksakan kehendak. Kebanyakan orang tua di Indonesia salah kaprah dengan kata ‘membimbing’ ini. Astaghfirullah
                SBMPTN pun tiba. Aku sudah kelimpungan dengan prodi yang aku pilih. Sikap pesimistisku mulai bangkit. Aku takut tidak lolos SBMPTN. Aku sudah curhat ke sana kemari meminta pendapat untuk pilihan prodiku. Dan, akhirnya aku disarankan oleh sahabatku –Putri— untuk pilihan pertama sesuai passion-ku dan pilihan kedua sesuai nilai UTBK-ku. Aku pun mengikuti sarannya setelah kepercayaan diriku mulai terpupuk karena cerita dari teman Mawar.
               Ditambah dengan nasihat ayah sahabatku Acha, “Jika, kamu ingin berhasil. Coba kamu buat perjanjian dengan Allah. Misalnya, kamu ingin lolos SBM tapi kamu harus punya jaminan ke Allah, jika kamu keterima kamu akan sholat dengan tepat waktu. Bernazarlah, jaminannya harus sesuai dengan hal yang kamu pinta,” Masya Allah sekali nasihatnya.
                Aku pun mengikutinya, dan pengumuman SBMPTN pun tiba. Aku sudah ketakutan tidak lolos. Air mata pun terus mengalir menyertai do’a-do’aku. Dan, Alhamdulillah…
                Masya Allah, aku menangis sejadi-jadinya saat melihat hasilnya. Aku bersujud syukur dan mengucapkan hamdalah sebanyak-banyaknya. Saat ibuku pulang dari mengajar mengaji, aku langsung memeluknya dengan erat. Aku bisikkan kata hamdalah dan menyodorkan ponselku yang tertera hasil SBMPTN-ku. Ibuku mengusap bahuku, serta mengucapkan hamdalah. Ya Allah, terima kasih…
                Terakhir, ini kisah teman-temanku yang tertolak SBMPTN. Ida, Ani, dan Nur. Mereka teman dekatku yang tertolak SBMPTN. Namun, Nur sudah diterima di Politeknik. Tinggal Ida dan Ani. Mereka sedang mempersiapkan pertempuran mereka selanjutnya. Aku tahu mereka bisa, aku tahu Allah menyiapkan hal terbaik untuk mereka…

                “Saat ini boleh kamu menyerah karena lelah, menangislah jika hal itu perlu. Karena, menangis bukan pertanda kamu lemah. Bukan! Tapi, ingatlah untuk bangkit! Jangan terus terpuruk dan merenung dalam kesedihan. Boleh kamu iri, boleh kesal, boleh. Kamu tahu? Hidup ini penuh ujian. Orang yang kamu kira bahagia belum tentu bahagia. Orang yang kamu kira sukses nyatanya dia butuh WAKTU dan PROSES untuk mencapainya. Ingatlah, gagal sekali bukan akhir dunia, bahkan orang sukses pernah merasakan kegagalan. Kita sedang ditempa untuk menjadi seseorang yang lebih baik ke depannya. Hanya saja ujian dan jalannya berbeda…”



Sekian…

Komentar